Memburu Kota Kuno Yang Hilang (The Lost Ancient City) Melalui Lapisan Tanah dan Lapisan Zaman

Sejarah

Rajapatni.com:SURABAYA – Di bawah hamparan sawah yang hijau, kebun tebu, dan permukiman penduduk yang tenang di Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur, tersembunyi sebuah misteri besar sejarah Nusantara. Ibu kota Kerajaan Majapahit, imperium maritim terbesar yang pernah mempersatukan gugusan kepulauan dari Semenanjung Malaya hingga Papua Barat, dipercaya terkubur di sini.

Namun, berbeda dengan kota kuno seperti Pompeii yang terawetkan oleh abu vulkanik dalam bentuk yang relatif utuh, Majapahit menantang para peneliti dengan keadaan yang berbeda: ia terfragmentasi, terpendam dalam, dan terserak di bawah tanah, meninggalkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban.

Artikel yang ditulis ahli geologi ITS Amin Widodo ini menelusuri perjalanan panjang upaya mengungkap kota yang hilang ini, sebuah upaya yang melibatkan ketajaman pena administrator kolonial, dedikasi bupati pribumi, ketekunan arkeolog awal, dan akhirnya, kecanggihan teknologi geofisika abad ke-21. Ini adalah kisah tentang bagaimana kita mencoba mendengarkan kembali bisik-bisik peradaban yang hampir sirna.

Ekskavasi di situs Kumitir, Trowulan Kabupaten Mojokerto. Foto: ist

Sang Geolog Amin Widodo ini tidak hanya melihat lapisan tanah untuk melihat kota yang hilang (the lost city) tapi juga melihat lapisan zaman mulai dari era Raffles di abad 19 awal hingga abad 21.

 

Mata dari Barat:

Raffles dan Kebangkitan Kesadaran awal awal abad ke-19 menandai titik balik dalam cara dunia luar memandang warisan Jawa. Sir Thomas Stamford Bingley Raffles, Letnan-Gubernur Hindia-Belanda yang menjabat selama periode pendudukan Inggris singkat (1811-1816), bukan sekadar birokrat. Ia adalah seorang peminat alam, sejarah, dan kebudayaan yang antusias.

Kala menjelajahi Pulau Jawa, matanya tidak hanya melihat potensi ekonomi, tetapi juga keagungan masa lalu yang terbengkalai. Kunjungannya ke reruntuhan yang dipercaya sebagai bekas Majapahit pada 1815 meninggalkan kesan mendalam. Dalam bukunya yang monumental, “The History of Java” (1817), Raffles menuangkan keprihatinan yang mendalam. Ia menulis tentang pembiaran dan bahkan kerusakan yang dialami oleh bangunan, arca, dan peninggalan masa Hindu-Buddha.

Yang membuatnya takjub adalah kesenjangan antara keadaan yang memprihatinkan itu dengan pencapaian peradaban yang diwakilinya. Bagi Raffles, peninggalan-peninggalan ini adalah bukti nyata bahwa bangsa Jawa telah mencapai tingkat kebudayaan yang sangat tinggi sebelum kedatangan pengaruh Islam dan kolonial Eropa.

Karya Raffles menjadi katalis. Buku ini, yang ditulis dalam bahasa Inggris, membawa nama Majapahit ke panggung internasional dan memicu ketertarikan intelektual dari kalangan Orientalis Eropa. Ia meletakkan fondasi epistemologis pertama: bahwa ada sebuah kerajaan besar yang namanya hampir terlupakan, tetapi jejaknya masih bisa ditelusuri. Namun, upaya Raffles masih terbatas pada observasi permukaan dan pengumpulan data literer; pekerjaan menggali kebenaran dari dalam tanah masih menunggu waktu.

 

Dedikasi Lokal:

Sang Bupati dan Kebangkitan Arkeologi Sistematis, sementara Raffles memberikan perspektif dari tingkat gubernur jenderal, di tingkat lokal, seorang bangsawan Jawa mengambil peran yang tak kalah penting.

Ario Kromodjojo Adinegoro IV, Bupati Mojokerto yang menjabat dari 1894 hingga 1916, adalah figur kunci. Ia memiliki kedekatan emosional dan kultural dengan tanah yang dipimpinnya. Kepeduliannya terhadap peninggalan leluhur membuatnya dikenal sebagai perintis Museum Mojokerto, sebuah institusi yang bertujuan mengumpulkan dan melestarikan artefak-artefak yang ditemukan secara tidak sengaja oleh penduduk.

Pada masanya, mulai banyak dilaporkan keberadaan tinggalan arkeologis di desa-desa sekitar Trowulan, seperti di Desa Kedaton. Dilaporkan bahwa struktur yang disebut Candi Kedaton dan area Sitinggil yang luasnya mencapai lima hektar masih tertutup tanah.

Laporan-laporan dari sang Bupati ini bukan sekadar kabar angin; ia membawa kesaksian lokal yang berharga kepada pemerintah kolonial Belanda. Laporan inilah yang kemudian ditindaklanjuti secara lebih resmi.

Pemerintah Kolonial Belanda, melalui Dinas Purbakala (Oudheidkundige Dienst in Nederlandsch-Indië atau OD), memulai penelitian arkeologi profesional dan ekskavasi di kawasan Trowulan mulai tahun 1913, yang berlanjut dengan berbagai intensitas hingga 1942. Era ini menandai transisi dari minat individual ke upaya kelembagaan yang lebih terstruktur.

Estafet kepemimpinan dan dedikasi ini tidak putus. Raden Tumenggung Kromo Adi Negoro, yang menggantikan ayahnya sebagai Bupati Mojokerto (1916-1933), meneruskan komitmen keluarga tersebut.

Bahkan, ia terlibat lebih langsung dalam penelitian arkeologi. Ia bekerja sama dengan seorang arsitek Belanda visioner bernama Henri Maclaine Pont (1884-1971). Kolaborasi yang unik ini, seorang bupati Jawa dan seorang arsitek Belanda, menghasilkan karya fundamental: dua peta detail yang merekam sebaran peninggalan Majapahit, yaitu “Emplacement van Majapahit” atau Map of the Majapahit Terrain (1924) dan “Majapahitische Restantenkaart” atau Map of the Archeological Remains (1926).

Meski tidak dipublikasikan secara luas pada masa itu, kedua peta ini menjadi literatur rahasia yang sangat berharga, menjadi dasar spatial bagi semua penelitian selanjutnya. Kerja sama mereka juga menjadi cikal bakal berdirinya Oudheidkundige Vereeniging Majapahit (OVM), sebuah perkumpulan yang khusus didedikasikan untuk meneliti peninggalan Majapahit.

Pada era yang hampir bersamaan, seorang ilmuwan Belanda lain, J.L. Brandes, memberikan kontribusi konseptual yang tak kalah penting. Dalam tulisannya pada 1889, Brandes menyatakan bahwa sejak abad ke-10 M, masyarakat Nusantara telah mengembangkan setidaknya 10 peradaban asli yang sophisticated, mencakup wayang, gamelan, tembang, batik, teknologi logam, sistem mata uang, pelayaran, astronomi, irigasi, dan sistem birokrasi.

Daftar Brandes ini menjadi semacam “manifesto” yang memperluas cakupan penelitian; tujuan kita bukan hanya mencari candi, tetapi memahami keseluruhan ekosistem peradaban tinggi yang pernah berdiri.

 

Teka-Teki Geologi:

Mengapa Majapahit Terkubur Sedalam Itu? Salah satu pertanyaan paling mendasar yang dihadapi para peneliti adalah: mengapa ibu kota sebuah kerajaan besar bisa terkubur sedalam 1 hingga 5 meter? Jawabannya terletak pada posisi geografis Nusantara yang dramatis dan berbahaya: Jalur Cincin Api Pasifik (The Pacific Ring of Fire).

Ekskavasi di situs Klinterejo, Trowulan, Kabupaten Mojokerto. Foto: ist

Indonesia adalah rumah bagi sekitar 129 gunung berapi aktif. Keberadaan ini, di satu sisi, menyuburkan tanah, tetapi disisi lain, merupakan ancaman permanen. Kawasan Kediri, Jombang, dan Mojokerto, termasuk Trowulan, berada dalam jangkauan pengaruh beberapa gunung api, terutama Gunung Kelud yang terkenal dengan lahar dan letusannya yang eksplosif.

Hasil pemetaan geologi yang dilakukan oleh Santosa dan Atmawinata dari Badan Geologi pada tahun 1992 memberikan bukti nyata. Kawasan tersebut ternyata tertutup oleh endapan lahar Gunung Kelud dari masa lampau.

Proses penguburan ini kemungkinan besar tidak terjadi dalam satu peristiwa katastropik tunggal, melainkan melalui akumulasi bertahap dari beberapa letusan besar selama berabad-abad, diperparah oleh proses sedimentasi alamiah dan banjir lahar dingin.

Bayangkan sebuah kota yang hidup dan berdenyut. Tiba-tiba, letusan terjadi, menghujani kawasan dengan abu dan material vulkanik halus. Beberapa tahun atau dekade kemudian, letusan lain terjadi, menambah lapisan baru. Lahar panas atau dingin yang mengalir dari lereng gunung mengubur bagian-bagian kota yang lebih rendah. Proses ini berulang, dan secara perlahan tapi pasti, kota itu tenggelam. Tragisnya, peristiwa ini mungkin juga berkontribusi pada kemunduran dan akhirnya ditinggalkannya ibu kota tersebut. Bencana alam ini, ironisnya, menjadi alat pengawet yang menyembunyikan sekaligus melindungi sisa-sisa kota dari penjarahan dan kerusakan lebih lanjut selama berabad-abad.

Gambar 1 Peta Geologi lembar Kediri Jawa dan lokasi situs yang terpendam

 

Revolusi Bawah Tanah:

Peran Teknologi Geofisika sebagai “Mata Ketiga”. Kawasan Trowulan, Mojokerto, yang dipercaya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Majapahit, menyimpan misteri besar di dalam perutnya. Berbagai temuan arkeologis menunjukkan bahwa sebagian besar struktur kota kuno ini terkubur pada kedalaman 1 hingga 5 meter di bawah tanah, diduga akibat endapan material vulkanik dari letusan Gunung Kelud berabad-abad silam.

Tim peneliti dari Teknik Geofisika ITS telah mengaplikasikan serangkaian metode geofisika mutakhir untuk memindai Situs Trowulan secara komprehensif. Investigasi bawah permukaan ini memanfaatkan metode gradiometer magnetik yang mampu mendeteksi anomali medan magnet dari struktur bata kuno atau benda logam yang terkubur. Metode ini efektif untuk memetakan sebaran struktur arkeologi berdasarkan sifat magnetisme material penyusunnya.

Selain itu, digunakan pula metode Ground Penetrating Radar (GPR) yang memanfaatkan penjalaran gelombang elektromagnetik untuk mengidentifikasi kontras dielektrik antar lapisan atau objek di bawah permukaan. Metode ini menghasilkan citra seperti potongan melintang bawah permukaan yang mampu menunjukkan bentuk dan kedalaman objek terkubur.

Melengkapi kedua metode tersebut, metode geolistrik 3D (Electrical Resistivity Tomography/ERT) diaplikasikan dengan menginjeksikan arus listrik ke dalam tanah dan mengukur beda potensial di permukaan. Metode ini bertujuan mengetahui distribusi resistivitas bawah permukaan, di mana struktur bata kering akan menunjukkan nilai resistivitas yang berbeda dengan tanah lempung basah di sekitarnya.

“Kombinasi ketiga metode geofisika ini memberikan hasil yang saling melengkapi dan mengkonfirmasi,” jelas seorang peneliti dari Tim Geofisika ITS.

“Kami tidak hanya mendeteksi keberadaan anomali, tetapi juga bisa memetakan sebaran tiga dimensi dari struktur yang terkubur, memberikan panduan yang presisi untuk ekskavasi arkeologi selanjutnya.”

Temuan ini menjadi babak baru dalam penelitian warisan Majapahit, yang sebelumnya mengandalkan catatan sejarah dari era Raffles hingga penelitian kolonial Belanda. Teknologi geofisika membuka kemungkinan untuk mengungkap tata kota dan kompleksitas peradaban Majapahit yang selama ini tersembunyi di bawah tanah.

 

Menyatukan Narasi:

Masa Lalu yang Terkubur, Masa Depan yang Terbuka. Hasil pemindaian geofisika di Trowulan bukanlah akhir dari cerita, melainkan awal yang baru. Anomali-anomali yang terdeteksi adalah “janji” tentang apa yang mungkin terkubur di bawah. Mereka berfungsi sebagai panduan ekskavasi yang sangat presisi.

Alih-alih menggali area seluas hektaran secara membabi buta, para arkeolog kini dapat menentukan titik-titik ekskavasi yang paling potensial dengan tingkat keyakinan yang tinggi. Ini menghemat waktu, biaya, dan yang terpenting, meminimalkan kerusakan pada situs itu sendiri.

Setiap struktur yang berhasil dikonfirmasi melalui ekskavasi validasi adalah sebuah potongan puzzle yang berharga.

Potongan-potongan ini secara kolektif mulai membentuk narasi yang lebih kaya dan lebih kompleks tentang Majapahit. Apakah anomali linier panjang itu adalah jalan raya kuno? Apakah struktur persegi panjang yang luas itu adalah fondasi istana atau pasar? Apakah jaringan anomali yang rumit itu menunjukkan sistem kanal dan pengelolaan air yang canggih, membuktikan peradaban maritim dan irigasi yang disebut-sebut oleh Brandes?

Temuan-temuan baru ini memiliki potensi untuk tidak hanya memperkuat narasi sejarah yang sudah ada—seperti mengkonfirmasi keakuratan Negarakertagama—tetapi juga untuk mengubahnya. Mungkin saja tata kota Majapahit lebih terencana dan lebih maju daripada yang diperkirakan sebelumnya. Mungkin saja jejak industri dan aktivitas ekonomi yang ditemukan mengungkap kompleksitas yang mengejutkan.

Gambar 2. Pola Struktur fondasi dinding dan gerbang-gapura

Gambar 3 Pola persebaran keberadaan struktur (merah) di sekitar Candi Bajangratu.

 

Penutup:

Sebuah Perjalanan yang Belum Usai. Perburuan untuk menemukan kembali Kota Majapahit adalah sebuah epik intelektual yang melintasi zaman. Dimulai dari kekaguman Raffles, dilanjutkan oleh dedikasi keluarga Bupati Kromodjojo Adinegoro, dan diteruskan oleh ketekunan Maclaine Pont serta para arkeolog OD. Kini, di abad ke-21, estafet ini dipegang oleh para insinyur geofisika dan arkeolog modern yang dipersenjatai dengan teknologi mutakhir.

Mereka tidak lagi hanya mengandalkan sekop dan perkiraan, tetapi pada gradiometer, GPR, dan geolistrik 3D. Teknologi ini adalah jendela baru kita ke masa lalu, memberikan kita kemampuan untuk menyibak lapisan tanah dan waktu tanpa harus merusaknya.

Majapahit mungkin akan selalu menjadi kota yang sebagian besar tersembunyi, tetapi berkat upaya kolaboratif multidisiplin ini, bisik-bisiknya kini semakin keras terdengar. Setiap anomali yang terpetakan, setiap struktur yang terkonfirmasi, adalah sebuah kemenangan kecil dalam upaya panjang bangsa Indonesia untuk memahami, menghargai, dan merangkul kembali kebesaran leluhurnya sendiri.

Perjalanan untuk sepenuhnya memahami kemegahan “kota yang hilang” (the lost city) ini masih jauh dari selesai, tetapi untuk pertama kalinya dalam berabad-abad, kita memiliki peta yang jelas untuk menuju ke sana.(PAR/min/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *