Sang Pemberani Van der Tuuk Berani Melanggar Norma Bangsa Eropa.

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA – Sedikit demi sedikit mengenal sosok Herman N. Van der Tuuk semakin meneguhkan sifat Surabaya, yang bermakna (Orang) yang berani menghadapi bahaya (Sura ing Baya). Pemaknaan ini berangkat dari kata “Syurabhaya” sebagaimana tertulis pada prasasti Canggu, yang berangka 1358 M.

Syurabhaya adalah desa di tepian sungai (Naditira Pradesa) yang posisinya di hilir sungai / Kali Surabaya (Kalimas). Penokohan dari Surabaya dalam kurun waktu yang berbeda beda adalah gambaran orang orang pemberani, mulai dari Raden Trunojoyo, Adipati Jayapuspita, Presiden Soekarno, hingga Arek arek Surabaya dan ada satu lagi tokoh Indo, yang berani menyematkan inisial S.B. (Suroboyo). Yakni Van der Tuuk, orang blasteran yang ketika di Belanda di usianya 22 tahun atau pada 1846 menggunakan inisial S.B.

Pernyataan ini sebagaimana dikatakan oleh C.D. Grijns, seorang ilmuwan Belanda dari Universitas Leiden.

Karya tulis C.D. Grijns Foto: ist

“The 22 year old Van der Tuuk replaced his name with pseudo initials S.B., which stands for Surabaya”, (Van der Tuuk yang berusia 22 tahun mengganti namanya dengan inisial S.B. yang merupakan singkatan dari Surabaya). jelas C.D. Grijns.

 

Makna Syurabhaya

Kata dan makna Syurabhaya (ꦯꦹꦫꦨꦪ), yang asalnya dari bahasa Kawi tentunya dimengerti betul oleh Van der Tuuk karena ia mempelajari Aksara Jawa Kuno (Kawi) untuk memahami Bahasa Kawi. Hasilnya adalah Kamus Kawi-Balineesch-Nederlandsch Woordenboek.

Kamus Kawi – Bali karya Van der Tuuk. Foto: ist

Kata kata Kawi dimaknai ke dalam Bahasa Bali dan Belanda. Bukan tidak mungkin, Van der Tuuk tidak mengerti makna Syurabhaya, yang berasal dari aksara dan bahasa Kawi, yang berarti (orang) yang berani menghadapi bahaya.

Atas pemahaman itulah, logisnya ia lantas menggunakan inisial S.B. (Soerabaia) untuk mengganti namanya. (Orang) yang berani menghadapi bahaya/tantangan adalah Sang Pemberani. Itulah Van der Tuuk. Ia berani melanggar norma Orang Eropa, yakni bertelanjang dada dan menggunakan bahasa daerah secara luas serta lekat dengan budaya lokal. Semua itu umumnya pantangan bagi orang Eropa.

Apalagi seiring dengan kolonialisme, masuk pula penggunaan aksara latin dan bahasa asing Belanda. Aksara Latin dan bahasa Belanda memang sengaja digunakan untuk mempermudah komunikasi dan birokrasi, serta untuk mengintegrasikan masyarakat jajahan dengan sistem budaya penjajah. Van der Tuuk justru memperkuat budaya lokal (daerah).

Van der Tuuk dalam pakaian tradisional Bali. Foto: ist

Apalagi Van der Tuuk menggunakan inisial S.B. (Soera ing Bhaya) yang melambangkan sikap keberanian masyarakat lokal Surabaya dalam menghadapi bahaya (musuh). (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *