Rajapatni.com: SURABAYA – Menggambarkan suatu peristiwa melalui platform apapun adalah bercerita tentang suatu peristiwa itu kepada orang lain. Bagi platform media dan apalagi untuk konsumsi publik, pesannya haruslah benar dan bertanggung jawab, bukan hoax. Setidaknya berdasarkan fakta lapangan dan data kepustakaan.
Jika platform radio, secara teknis akan mengandalkan suara. Jika melalui platform media televisi, maka secara teknis ada unsur suara dan gambar (audio visual). Jika berupa teks, maka mengandalkan tulisan.
Apapun medianya, secara human, pesan umumnya disampaikan melalui bercerita tentang peristiwa itu, story telling. Melalui media audio-visual, selain ada pesan verbal juga disertai visual untuk menekankan makna. Secara audio ada unsur intonasi, stressing dan gaya (aksen). Sementara secara tekstual, penulisan nya harus memiliki gaya penulisan yang mampu membuat pembaca larut dalam isi pesan.
Untuk membuat pembaca larut dalam tulisan, maka perlu menggunakan gaya penulisan narasi atau deskriptif yang kuat, menciptakan pengalaman emosional, serta membangun koneksi dengan pembaca melalui gaya bahasa yang sesuai dan pemilihan kata (diksi) yang menarik. Gaya penulisan semacam ini membuat pembaca ikut merasakan apa yang terjadi dalam cerita, merasa terlibat, dan betah berlama-lama dengan tulisan.
Sebuah alur cerita juga memegang peran penting dalam mengajak pembaca untuk mengikuti bacaan hingga tuntas. Alur cerita adalah salah satu unsur intrinsik dalam sebuah cerita. Unsur alur ini akan disusun melalui setiap tahapan yang ada. Mulai dari tahap pengenalan hingga tahap akhir cerita.
Apapun cerita yang disajikan, terlebih cerita terkait dengan sejarah. Berbicara sejarah pada dasarnya adalah mengurutkan peristiwa berdasarkan urutan waktu terjadinya, sebuah konsep yang disebut berpikir kronologis. Ini dilakukan untuk memahami rangkaian peristiwa, hubungan sebab-akibat antar peristiwa, dan melihat perkembangan serta perubahan dari waktu ke waktu secara runtut dan utuh.
Media ini, rajapatni.com, adalah media, yang berpositoning pada sejarah-budaya sehingga menjadi pedoman sebuah penulisan yang beralur, runtut, kronologis, mulai dengan apa dan berakhir pada apa, sesuai setting dan targetnya.
Alur bisa saja flash back. Misalnya ketika media ini melacak keberadaan dan perkembangan aksara daerah di Nusantara. Secara flashback akan ketemu dengan aksara Pallawa, yang berasal dari aksara Brahmi dari India.
Tidak hanya bercerita melalui teks saja, namun harus pula diberi ilustrasi bukti bukti faktual dari jejak aksara. Teks masih membutuhkan visual (foto) sebagai gambaran apa yang diceritakan lewat teks. Ini lebih menarik.
Akan semakin bagus dan hidup dalam ber story telling bila sang penulis/wartawan berada di lokasi dari cerita yang disajikan.
Berada di lokasi peristiwa, maka penulis bisa menyampaikan ceritanya dengan emosi. Misalnya ketika berada di lokasi dia mengalami rasa takut, rasa senang, rasa sedih dan apapun rasa itu, maka dia bisa mengekspresikan melalui pemilihan diksi diksi yang pas untuk mempengaruhi pembaca ber emosional dan berempati. Idealnya penulis semaksimal mungkin bisa berada di lokasi (meski tidak 100 persen).
Bercerita (story telling) harus ada pelibatan emosi meski medianya bersifat tekstual. Karenanya gambar/foto dimana peristiwa terjadi sangat diperlukan. Melalui gambar foto penulis bisa mengajak pembaca merasakan lingkungan atau setting cerita.

Point point tentang Story telling menjadi materi yang dibahas dalam Kelas online “Voice of Tomorrow” pada Sabtu siang (20/9/25) dengan Narasumber Palki Sharma (First Post – India) dan Laban Laisila (Narasi TV – Indonesia) yang mengangkat tema “Digital Journalism & Multimedia SStory telling”. (PAR/nng)