Rombongan Wisatawan Belanda Gagal Mengintip Gedung Heritage Di Kota Lama Surabaya.

Wisata

Rajapatni.com: SURABAYA – Sebanyak 10 Wisatawan Belanda menapak jejak peradaban Kampung Eropa di Kota Lama Surabaya. Usia mereka boleh senja, namun semangat tetap muda. Mulai lah mereka menapak dari titik jembatan legendaris Jembatan Merah (Roode Brug) lalu menyusuri jalan dengan cahaya mentari yang menerpa facade gedung gedung tua, yang berdiri di barat Jalan Jembatan Merah, cerah dengan langit biru yang alami.

Rombongan, yang dipandu oleh kurator terkenal di Belanda Frans Leidelmeijer, mulai menyisir trotoar jalan Jembatan Merah sisi Timur sambil mengamati gedung gedung Raya nan indah di sisi barat. Persis di depan Gedung Singa, yang diarsiteki oleh H.P. Berlaga, mereka berhenti untuk mendapatkan view eksotik dari gedung paling modern di awal abad 20.

Mendekat ke Gedung Singa. Foto: nng

Setelah cukup mengamati facade gedung, mereka mendekat untuk mendapati guratan arsitektur secara detail, termasuk bahan bahan bangunan yang didatangkan dari Eropa, seperti batu batu granit dan batu bata ekspose, yang menjadikan bangunan ini bergaya modern. Tak ketinggalan sepasang patung singa “penjaga” gedung.

Dari gedung bergaya modern, mereka melihat gedung bergaya Indische di jalan Mliwis yang hingga sekarang masih memproduksi minuman lemon. Dulu bernama J.C Van Drongelen dan kini bernama Telasih. Ini the living fabriek.

Jalan Mliwis dengan gedung Gedung Indische..Foto: nng

Tidak sekedar menikmati gaya arsitektur nya, mereka juga menikmati rasa sirupnya. Ada rasa leci, ada rasa frambozen dan lainnya. Sambil melepas lelah, mereka menyeruput minuman segar dingin hasil produksi Kota Lama Surabaya.

Lorong jalan Mliwis yang eksotik ini semakin bertambah eksotik tatkala datang rombongan pesepeda dengan dandanan adat Dayak Kalimantan. Suasana dan momen ini dimanfaatkan oleh para wisatawan sebagai oleh oleh keramahtamahan dari Kota Lama.

Setelah puas berfoto dengan background etnis dan arsitektur rustik, mereka bergerak ke berat melihat gedung PT. Sinergi Gula Nusantara, yang dulu pernah digunakan sebagai Koloniale Bank.

 

Kecewa

Para wisatawan, yang notabene pemerhati dan penyuka sejarah dan arsitektur asal Belanda itu kecewa karena tidak diperbolehkan masuk kecuali hanya di ruang lobi kecil secuil di gedung heritage. Pimpinan rombongan tau bahwa di ruang lantai dua desain interiornya menarik dan menjadi bahan narasi untuk diceritakan ke peserta sebagai oleh oleh dari Surabaya. Pimpinan rombongan adalah kurator bangunan kolonial dan benda benda vintage heritage yang sangat menguasai bangunan kolonial di Indonesia.

Tertahan di ruang lobi kecil. Foto: nng

Sang penjaga (sekuriti) mengatakan: “di atas tidak ada apa apa”.

Saya (penulis) yang membersamai rombongan menggumam: “sekuriti ini berkata menguatirkan”.

Eks gedung Koloniale Bank yang memiliki interior indah di lantai dua. Foto: nng

Padahal pimpinan rombongan ini pernah kesana sebelumnya dan mengerti betul apa nilai penting arsitektur dari bangunan ini. Mungkin sang sekuriti berfikir rombongan ini tidak mengerti apa apa.

Penulis, yang juga mengerti ruang atas seperti apa dan mengapa rombongan wisatawan ini diajak mampir ke gedung itu, menyayangkan sikap penjaga yang seolah lebih mengerti nilai arsitektur dari pada ahli arsitek dan bangunan kolonial.

Hal serupa juga terjadi di gedung sebelahnya, yang kini digunakan oleh sebuah bank swasta Maybank. Tour Leader rombongan ini, salah satunya adalah dari Belanda Frans Leidelmeijer dan satunya warga Belanda yang sudah lama menetap di Bali, mengerti tentang kekayaan arsitektur Kota Lama Surabaya. Karenanya program tour arsitek dan pengagum arsitektur Belanda ini diajak ke kota lama Surabaya. Tapi penerimaan untuk berkunjung ke gedung gedung heritage di Kota Lama Surabaya kurang memuaskan. Akhirnya hanya kata kata yang mereka dengarkan dari sang pemandu. Sementara indera mata dan tangan peraba gagal mengindera (melihat dan meraba) keindahan interior desainnya.

Plakard di gedung eks Spaar Bank yang kini dipakai Maybank. Foto: nng

Sangat disayangkan dengan sikap ini. “Harus membawa surat proposal”, begitu kata sekuriti di kedua gedung heritage di kota Lama Surabaya.

“Saya sudah datang dan minta izin untuk kunjungan kemarin (Senin, 8/9/25), saya disuruh nunggu di sini (sambil menunjuk ke tempat duduk), tapi saya tunggu lama gak ada kabar”, kata tour leader Belanda, Adrian, yang sudah lama bermukim di Bali.

Mendengar dan menyaksikan sendiri kejadian itu, penulis prihatin. Ternyata ada pengelola gedung yang belum mengerti betul status Kota Lama Surabaya sebagai kawasan wisata sejarah yang edukatif. Mestinya pengelola gedung cagar budaya siap melayani wisatawan, apalagi wisatawan mancanegara yang berlatar belakang pemerhati sejarah dan arsitektur. Kata “tidak boleh” tetap keluar meski sudah dijelaskan oleh tour leader.

Apa artinya berupaya mempromosikan Kota Lama hingga ke mancanegara, bila penerimaan pengelola gedung di kota lama seperti itu? Kurang bisa melayani. Kalau tamu dekat, bisa dimaklumi. Tapi kali ini adalah tamu mancanegara yang akhirnya harus undur diri meski sudah di depan mata.

 

Masih Ada Yang Sadar Wisata

Namun tidak semua pengelola gedung heritage seperti itu, gedung bekas HVA sangat ramah sejarah. Bahkan di ruang lobi tersedia history box, presentasi sejarah secara visual untuk para pengunjung. Bahkan wisatawan didampingi dalam penelusuran house tour. Bila semua pengelola gedung heritage seperti itu, maka baguslah Kota Lama Surabaya.

Kesiapan menyambut kedatangan wisatawan sangat terlihat di kota Lama Surabaya, khususnya di Museum BI, De Javasche Bank. Maklum entitas ini adalah sebuah museum.

Di museum BI (De Javasche Bank). Foto: nng.

Tapi Kota Lama Surabaya ini kan museum hidup? Sehingga seharusnya ada kesempatan bagi pengunjung untuk bisa melihat bangunan bangunan yang dulu berfungsi sebagai bank dan kini masih sebagai bank juga, meski berganti nama. Misal dulu Spaar Bank. Kini, Maybank.

Kota Lama Surabaya ke depan akan semakin merosot atau bertahan? Itu kemudian pertanyaan yang muncul. Ini tergantung pengelola dan pemangkunya.

Sangat welcome di HVA. Foto: nng

Dari pengamatan yang kasat mata pada sore, petang dan malam hari, jumlah pengunjung ke kota Lama lambat laun menurun. Apa yang salah?

Dari pengalaman penulis yang bernaung di bawah komunitas Puri Aksara Rajapatni pada bulan Agustus saja ada satu rombongan mahasiswa Jerman, bulan September ada rombongan wisatawan Belanda dan pada Oktober mendatang akan ada rombongan wisatawan dari Belanda lagi. Bagaimana pun masih ada pengunjung.

Sungguh sayang bila pamor Kota Lama Surabaya semakin meredup apalagi dipengaruhi oleh cara cara pengelolaan yang kurang sadar wisata, misalnya mengenai kebutuhan wisatawan.

Ayo berbenah, mumpung belum terlalu terlambat! (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *