Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Bahasa, Seni, Manuskrip, dan Aksara adalah komponen kunci dalam pelestarian dan pengembangan budaya. Bahasa adalah sistem komunikasi lisan, aksara adalah sistem simbol tulis yang merepresentasikan bahasa, dan manuskrip adalah naskah tulisan tangan kuno yang berisi informasi budaya dan sejarah. Seni menjadi salah satu bentuk ekspresi yang tertuang dalam manuskrip, baik melalui isi maupun keindahan tulisan dan materialnya.
Masing masing dari keempat unsur budaya manusia itu perlu mendapat perhatian dan pendalaman dalam upaya pemajuan kebudayaan sebagaimana diharapkan sesuai UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Sayang dari keempat unsur itu, satu, yaitu Aksara, belum terwadahi dalam Object Pemajuan Kebudayaan sebagaimana dimuat dalam UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan. Tiga lainnya: Bahasa, Seni dan Manuskrip telah terwadahi dalam Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) sebagaimana dimuat dalam pasal 5 tentang OPK.
Padahal pemahaman aksara adalah modal dalam upaya pelestarian Manuskrip, mengenal bahasa yang pada gilirannya bisa terwujud dalam karya seni, khususnya seni sastra.
Bagaimana kita bisa mengerti isi manuskrip kalau tidak mengerti aksaranya, utamanya Aksara daerah. Ketika Manuskrip ditulis dalam aksara latin, kalau kita buta huruf, juga tidak akan bisa mengerti isinya.
Aksara adalah kunci untuk memahami manuskrip. Tanpa menguasai aksara, kita tidak dapat membaca, menafsirkan, atau memahami isi dan makna dari sebuah manuskrip kuno. Setiap aksara, seperti aksara Jawa atau aksara lontara Bugis , mewakili bahasa dan budaya tertentu, sehingga penguasaan aksara tersebut menjadi jembatan untuk membuka kekayaan pengetahuan, sejarah, dan budaya yang tersimpan dalam manuskrip-manuskrip tersebut.
Ada kalanya manuskrip adalah karya seni. Manuskrip memang bisa menjadi karya seni, dan sering kali dianggap demikian karena keindahan tulisan tangan, kaligrafi, dan iluminasinya, serta nilai historis, budaya, dan sastrawinya.
Karenanya Bahasa, Seni (Sastra), Aksara dan Manuskrip adalah ekspresi budaya manusia yang layak dilindungi demi pelestariannya.
Diantara empat unsur atau Object, Aksara sangat layak dalam deretan empat Object Pemajuan Kebudayaan. Aksara tidak hanya berupa aksara Jawa saja, tetapi aksara aksara daerah di Indonesia.
Ironis bila ada satu daerah di Indonesia tidak menggunakan aksara daerah, tetapi menggunakan aksara asing. Misalnya masyarakat desa Cia Cia di Bau Bau, Sulawesi Selatan yang malah menggunakan aksara asing, Hangeul Korea. Ini salah siapa? (PAR/nng)