Aksara Diusulkan Masuk Undang Undang: Dengan Aksara, Kita Mengetahui Bahasa Leluhur, Yang Sekarang Tidak Digunakan Lagi.

Aksara

Rajapatni.com: SURABAYA – Menyusul dimasukkannya Aksara dalam Object Pemajuan Kebudayaan (OPK) melalui Raperda Inisiatif Pemajuan Kebudayaan, Kejuangan dan Kepahlawanan Surabaya, dalam sebuah kesempatan acara “temu wicara kebudayaan” dengan Kementerian Kebudayaan RI di Sanggar Candi Busana Surabaya pada Minggu siang (31/8/25), komunitas aksara Jawa Surabaya, Puri Aksara Rajapatni, mengusulkan Aksara ke dalam Undang Undang RI.

Temu Wicara Kebudayaan dengan Kementerian Kebudayaan RI di Surabaya. Foto: nng

Pada dasarnya “Aksara” berbeda dari “Bahasa”, yang selama ini sudah menjadi salah satu dari Object Pemajuan Kebudayaan sesuai dengan UU 5/2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Bahasa adalah sistem komunikasi lisan dengan kosakata dan tata bahasa sendiri. Sementara aksara adalah sistem tulisan visual, yang menggunakan simbol atau karakter untuk merepresentasikan bahasa tersebut.

Bahasa dan aksara memiliki kaidah masing masing yang berbeda. Bahasa merupakan sistem bunyi yang bersifat arbitrer atau “manasuka”, di mana bunyi-bunyi yang dihasilkan oleh alat ucap manusia menjadi bahasa, bukan bunyi alamiah seperti batuk atau bersin.

Kaidahnya atau atau aturan tersendiri, seperti tata bahasa, yang berbeda antara satu bahasa dengan bahasa lainnya (misalnya, bahasa Jawa dan bahasa Indonesia memiliki kaidah yang berbeda).

Sedangkan Aksara merupakan simbol visual (huruf atau tanda) yang digunakan untuk menuliskan suatu bahasa, yang kaidahnya memiliki sistem aturan tersendiri dalam penulisan, seperti penggunaan diakritik (tanda pada huruf) untuk menunjukkan perbedaan bunyi.

Contohnya, aksara Jawa (Hanacaraka) memiliki sistem penulisan yang berbeda dengan aksara Latin. Perbedaan Intinya adalah bahasa berfokus pada sistem bunyi dan maknanya, sementara Aksara berfokus pada simbol visual dan cara merepresentasikan bunyi-bunyi bahasa tersebut secara tertulis.

 

Keputusan Kongres Bahasa Jawa VII

Berdasarkan perbedaan itulah, Kongres Bahasa Jawa VII di Surakarta pada 2023 memasukkan (menyatukan) Aksara dalam keputusan Kongres. Yaitu penyatuan tiga unsur literasi Jawa (Bahasa, Sastra, dan Aksara).

Bahasa, Sastra, dan Aksara memang tiga unsur yang berbeda, namun saling berkaitan dalam budaya manusia, di mana bahasa adalah sistem komunikasi lisan, sastra adalah karya seni yang menggunakan bahasa sebagai medianya, dan aksara adalah sistem simbol visual untuk merepresentasikan bahasa.

Sejauh ini Bahasa dan Seni (yang diantaranya seni sastra) telah masuk Object Pemajuan Kebudayaan, sementara Aksara belum. Dengan segala pertimbangan dan sifat sifat Aksara, maka diusulkan lah Aksara sebagai Object Pemajuan Kebudayaan.

Usulan komunitas Puri Aksara Rajapatni ke Kementerian Kebudayaan RI. Foto: nng

 

Pemajuan Aksara

Pemajuan Aksara adalah penting karena Aksara adalah salah satu dari identitas budaya bangsa Indonesia. Karenanya sebagaimana dinyatakan dalam Keputusan Kongres Bahasa Jawa VII di Surakarta 2023, dimana perlunya penetapan regulasi formal untuk melindungi dan mengembangkan literasi Jawa melalui undang-undang dan penyediaan ASN yang kompeten.

ASN yang kompeten secara langsung terkait dengan aksara adalah guru, yang diharapkan bisa melestarikan aksara (aksara Jawa untuk wilayah di Jawa) melalui kurikulum pendidikan sekolah.

Pelestarian ini tidak menutup kemungkinan partisipasi masyarakat di luar jalur pendidikan luar sekolah (PLS), seperti oleh komunitas. Bahkan keputusan kongress pun mendorong pelibatan diaspora Jawa untuk penyebaran bahasa, sastra dan aksara di mancanegara. Ada salah satu warga Belanda di kota Amsterdam, yang tengah mempersiapkan sebuah buku yang ditulis menggunakan Aksara Jawa, dengan terjemahan bahasa Belanda dan Inggris.

 

Pengenalan Aksara di Desa Desa

Dari dalam negeri sendiri, misalnya Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XI Jawa Timur juga sudah menuliskan aksara daerah (Kawi dan Jawa) di beberapa situs di Jawa Timur. Misalnya di kantor Pusat Informasi Majapahit (PIM) dan di beberapa komplek Percandian sudah terdapat signage beraksara Daerah.

Bahkan sekarang Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI sedang menggelar kegiatan pembelajaran Aksara Jawa di desa desa di wilayah Mojokerto. Demikian disampaikan oleh kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, Endah Budi Heryani, S.S., M.M., dalam acara Temu Wicara Kebudayaan di Surabaya (31/8/25). Sasarannya adalah anak anak usia sekolah. Terkait dengan kegiatan itu tentu dibutuhkan tenaga pengajar demi penyebarluasan Aksara Jawa sebagai upaya pelestariannya.

Kepala Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XI, Endah Budi Heryani dalam temu wicara di Surabaya. Foto: nng

Aksara (Jawa) sebagai peninggalan nenek moyang (leluhur bangsa) tidak kalah pentingnya dengan peninggalan Candi yang bersifat bendawi (Tangible). Aksara (baik Kawi dan Jawa) adalah bersifat tidak benda (intangible).

Mengenal dan mengerti aksara adalah mengenal bagaimana bunyi bahasa yang pernah digunakan oleh leluhur. Tanpa aksara kita tidak tahu bahasa apa yang digunakan oleh leluhur. Dari artefak prasasti yang dikoleksi di PIM, kita tahu bahwa leluhur menggunakan Bahasa Jawa Kuna.

Sekali lagi aksara (sistem tulisan) adalah kunci untuk memahami bahasa leluhur, karena aksara adalah representasi visual dari bunyi bahasa. Tanpa aksara, kita tidak memiliki catatan yang dapat dibaca untuk mempelajari bagaimana bahasa leluhur diucapkan, struktur bahasanya, serta budaya dan sejarah yang terkandung di dalamnya.

Aksara memungkinkan kita untuk merekonstruksi dan melestarikan warisan bahasa kuno, yang mungkin tidak lagi digunakan dalam kehidupan sehari-hari sekarang. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *