Bung Tomo, Radio Pemberontakan dan Mawar 10 Adalah Kusuma Bangsa.

Sejarah

Rajapatni.com: SURABAYA – Peristiwa di rumah dari era kolonial di jalan Mawar 10-12 Surabaya, pada masa perang 10 November 1945 menjadi kunci semangat perlawanan arek arek pejuang Surabaya dalam melawan pasukan Sekutu. Dari rumah, yang dibangun tahun 1930-an itu, berkumandang suara pidato Bung Tomo yang heroik, menyemangati pejuang Surabaya untuk berani mati demi menjaga kedaulatan yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

Disanalah terinstalasi seperangkat alat radio pemancar untuk sarana berpidato Bung Tomo dalam membakar semangat perjuangan arek arek Surabaya. Tidak terinstal secara permanen, tetapi insidental karena situasi dan kondisi yang mana Bung Tomo harus mobile karena perang Surabaya.

Tampak muka bangunan rumah ketika masih berdiri. Foto: ist

Di rumah di jalan Mawar 10 Surabaya pun harus mencari titik yang aman. Wuwungan, ruang di atas plafon rumah, sempat menjadi persembunyian untuk mengamankan siaran pidato pidatonya.

Ketika situasi di rumah Mawar 10 tidak aman, Bung Tomo harus pindah ke kota lain seperti Malang dan Bangil. Seperangkat alat radio pemancarnya mobile dan siap dibawa kemana mana.

Melalui pidato pidatonya, Bung Tomo seolah “memberi komando”. Wajar jika radio radio yang dimiliki warga senantiasa standby menyala karena sewaktu waktu datang suara pidato Bung Tomo.

Agar masyarakat tidak ketinggalan pidato, Bung Tomo melalui jingle programnya memberi panggilan agar masyarakat datang mendekat dan mendengarkan. Jingle program pidato Bung Tomo ini bernama “The Tiger Shark” yang bernada rancak musik Hawaiian. Jingle musik instrumental The Tiger Shark ini seolah berkumandang bagai suara Adzan sebagai panggilan umat Islam melaksanakan wajib sholat. Sementara kumandang the Tiger Shark menjadi panggilan mendengarkan pidato Bung Tomo.

Radio radio penerima milik penduduk pun banyak yang berbentuk dan berjuluk “Radio Roti” karena bentuknya yang kecil dan kotak seperti roti tawar. Radio radio itu umum disebut Radio portable.

Salah satu produk radio USB di ruang kepala sekolah. Foto: nng

Untuk mengenang masa itu dengan segenap nilai kejuangan, anak anak SMKN 12 Surabaya membuat radio model antik yang diberi nama “Radio Bung Tomo”. Penamaan ini digagas oleh komunitas aksara Jawa, Puri Aksara Rajapatni. Komunitas ini mengelola media online, yang bernama rajapatni.com, yang selama ini konsisten menyuarakan perlindungan budaya Jawa dan sejarah, termasuk nilai nilai juang.

 

Radio Pemberontakan

Bung Tomo di moncong Mic siaran radio. Foto: dok

Kata “pemberontakan” sekilas dipandang negatif. Tapi “pemberontakan” yang berasal dari kata /be·ron·tak/, yang mengandung kata kerja (verb) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah /meronta-ronta hendak melepaskan diri/.

Kondisi dan suasana inilah yang dialami dan dirasakan Bung Tomo terhadap negerinya yang hendak dibelenggu kembali dalam penjajahan oleh negara asing. Dalam kondisi itu Ia meronta ronta berusaha melepaskan diri atau berontak. Melalui siaran siaran radionya, Bung Tomo sebagai simbol bangsanya meronta ronta hendak melepaskan diri alias berontak. Karenanya radio sebagai alat untuk melepaskan diri alias berontak. Akhirnya radionya disebut Radio “Pemberontakan”.

Diksi “berontak” ini bukanlah melawan pemerintah (kekuasaan dan sebagainya) secara serentak sebagai makna lain dalam KBBI dengan contoh Pemberontakan PKI atau Pemberontakan DI/TII ataupun Pemberontakan RMS.

Tetapi berontak dalam arti orang, yang meronta-ronta hendak melepaskan diri dari upaya belenggu penjajahan. Itulah Radio Pemberontakan dalam arti perlawanan terhadap tentara Sekutu yang akan kembali menjajah.

Sedangkan Radio Bung Tomo, yang disebut disebut “Radio Pemberontakan” karena perannya yang sangat penting dalam membangkitkan semangat juang rakyat Surabaya dan Indonesia pada masa Pertempuran Surabaya melawan Sekutu dan NICA pada tahun 1945.

Radio ini menjadi corong utama Bung Tomo untuk menyampaikan pidato-pidato yang membakar semangat, yang tidak hanya menginspirasi Arek-arek Suroboyo, tetapi juga didengar hingga ke seluruh Indonesia bahkan ke negara lain seperti Thailand dan Australia.

Setidaknya berikut ini adalah alasan mengapa radio Bung Tomo dijuluki “Radio Pemberontakan”.

Radio ini digunakan sebagai media propaganda untuk membakar semangat juang rakyat Surabaya dan Indonesia dalam menghadapi pasukan Sekutu dan NICA.

Pidato berapi-api Bung Tomo melalui radio ini sengaja untuk mengajak rakyat agar tidak menyerah dan terus berjuang mempertahankan kemerdekaan.

Melalui radio ini Bung Tomo dengan tegas menolak Ultimatum Sekutu, yang menuntut rakyat Surabaya menyerahkan senjata. Seruan Bung Tomo ini tidak hanya terdengar di Surabaya, tetapi juga mencapai berbagai daerah lain di Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri.

Karenanya Radio Pemberontakan Bung Tomo ini menjadi simbol perlawanan dan semangat juang rakyat Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Akhirnya melalui Radio Pemberontakan, Bung Tomo berhasil membangkitkan semangat juang yang tinggi di kalangan rakyat Surabaya dan menjadi salah satu faktor penting dalam Pertempuran Surabaya.

 

Mawar 10

Mawar 10 adalah alamat rumah (Jalan Mawar 10 Surabaya), yang pernah dijadikan tempat oleh Bung Tomo dalam menyiarkan pidato pidato heroiknya.

Karena peristiwa penting dalam sejarah pertempuran Surabaya melawan tentara Sekutu pada November 1945, bangunan rumah ini ditetapkan sebagai Bangunan Cagar Budaya (BCB) melalui Surat Keputusan Walikota Surabaya nomor 188.45/004/402.1.04/1998.

Namun pada tahun 2016 bangunan bersejarah ini dibongkar dan didirikan bangunan baru yang cenderung jauh dari nilai sejarah dan menjadi eksklusif individual tidak lagi inklusif komunal.

Secara kepemilikan, tanah dan bangunannya menjadi sangat privat tidak merakyat yang ditandai dengan pagar rumah yang tinggi dan tertutup tanpa nomor identitas sejarah 10 sebagai alamat bersejarah Mawar 10. Sehingga Mawar 10 kehilangan Marwahnya.

Namun dari Mawar 10 masih menyimpan nilai kejuangan jika terus diuri uri nilainya. Nguri uri nilai kejuangan di jalan Mawar 10 adalah perjuangan tersendiri. Nilai kejuangan di jalan Mawar 10 adalah milik rakyat Surabaya. Tanah dan bangunan di Mawar 10 boleh milik individu ber uang. Tapi nilai kejuangan di Mawar 10 adalah milik rakyat yang bernyali, milik bangsa yang tidak boleh hilang dan harus dipertahankan.

“Radio Bung Tomo” juga muncul dalam era kekinian sebagai sebuah produk kreatif menjadi simbolisasi mempertahankan ingatan kolektif bangsa yang layak dijaga. Bahkan negara layak turun tangan demi perlindungan dan pelestarian. (PAR/nng).

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *