Sejarah Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Ada yang menarik perhatian mata dari gedung Singa di Kota Lama Surabaya, yang akhirnya berdampak pada keprihatinan pemerhati bangunan kolonial. Gedung, yang menjadi masterpiece karya arsitektur paling modern di awal abad 20 dan yang selama ini dibanggakan karena berada di Surabaya, ternodai.
Gedung itu adalah Gedung Singa, dan terhitung gedung yang paling akhir mendapat perlakuan dalam konteks perawatan dan pelestarian. Ketika semua gedung di kawasan Kota Lama Surabaya, zona Eropa, diperbaiki baik oleh Satgas pemerintah kota dan juga oleh pengelolanya, Gedung Singa menjadi satu satunya gedung yang dibersihkan dari tanaman liar dan dicat oleh Satgas Pemerintah Kota Surabaya.
Tindakan ini diketahui berdasarkan pengamatan mata tatkala Satgas Pemerintah Kota Surabaya sibuk membersihkan untuk mempersiapkan pembukaan Kota Lama Surabaya oleh Walikota Surabaya, Eri Cahyadi.
Peresmian Kota Lama Surabaya
Pada saat peresmian Kota Lama Surabaya pada 3 Juli 2024, gedung Singa sudah tampak lebih indah dan rapi. Pantas dipandang mata dan sebagai setting photography. Tapi tetap tertutup.
Ketika ada acara Resonance of Light dari tanggal 20 hingga 28 November 2025, gedung ini baru dibuka umum. Barang barang di dalam gedung, yang sebelumnya menumpuk menggunung di lantai 1 depan, dibersihkan.
Dalam acara itu, publik bisa masuk, tapi terbatas di lantai 1. Itu pun desain interior seperti semua dinding tertutup oleh panel panel stand acara. Beberapa pengunjung, yang berkesempatan masuk, sempat kecewa karena tidak bisa melihat tampilan ruangan karena tertutup panel dekorasi acara Resonance of Light.
Pengunjung dibuat masuk untuk melihat pameran bukan arsitektur gedung yang didesain oleh arsitek modern terkenal Hendrik Petrus Berlage dan dibangun tahun 1901.
Bahkan di acara itu, hanya untuk mengintip data sejarah, yang berupa prasasti, tidak bisa karena dinding dimana prasasti terpasang tertutupi oleh dekorasi masuk ke ruangan.
Acara Resonance of Light tanggal 20 – 28 November 2025 ini terhitung lebih dari satu tahun sejak pembukaan wisata heritage Kota Lama Surabaya pada 3 Juli 2024.
Kecewa
Pada tanggal 23 November 2025 ketika berkunjung ke kota lama Surabaya dan sempat melihat interior gedung, bisa dimaklumi ketidakpuasan sebagian pengunjung karena interior ruangan tertutup oleh dekorasi pameran yang kurang serasi.
Ketika duduk di depan gedung sambil ngopi, terlihat sepasang bingkai (slimaran) jendela di atas hiasan keramik lukis, yang terbuat dari bahan galvalum. Bendanya bersinar berkilau karena menerima sinar matahari.
Tampilan slimaran jendela di depan bangunan ini sangat mengganggu. Pada Rabu pagi (24/12/25) ketika nongkrong di Warung Kopi dan mau bertemu kawan dari Indonesia Hidden Heritage (IHH) dari Jakarta, terlihat ada rombongan wisatawan yang turun dari kapal pesiar. Salah satunya mengabadikan tampilan fasad Gedung Singa. Dia terganggu karena ada silau dari bingkai jendela. Reaksi itu tampak dari ekspresi dan body language nya bahwa wisatawan ini terganggu oleh silau dari bingkai galvalum itu.

Tidak hanya wisatawan itu yang terganggu. Bagi mereka yang mengagumi bangunan kolonial, sebagian besar akan terganggu oleh bahan modern, yang tidak sesuai dengan bangunan bersejarah dan ikonik di jalan Jembatan Merah Surabaya.

Unggahan melalui akun Facebook pun ditanggapi oleh mereka penikmat bangunan kolonial.
“lhooooo!”, tanggapan penikmat Noor Suyatin.
“Lhoooo!”, komentar serupa dari penyelenggara wisata di Surabaya, Adji Wijono.
Komentar lainnya datang dari A. Hermas Thony: “Bisa jadi mereka memperbaiki dengan tanpa konsultasi ke TACB”.
Lelang
Kesan spontan ini persis seperti apa yang menjadi kekhawatiran ketika aset ini ditawarkan dijual melalui lelang pada 2021. Penulis sempat ikut lelang dengan dukungan dari seorang pengusaha di Jakarta, yang kekayaannya sulit diverbalkan karena terlalu banyak digit NOL nya.
Jika bernilai satu juta rupiah, nolnya ada enam. Jika satu milyar nolnya ada sembilan. Ini jumlah nolnya terlalu banyak, sehingga sulit mengatakan, nilainya berapa rupiah.
Karena mengikuti proses lelang sehingga dapat diketahui pergerakan penawaran oleh peserta lelang. Lantas muncul kekhawatiran atas rencana seorang peserta lelang. Berangkat dari kekhawatiran itu, maka dibuatlah tulisan di media massa, yang isinya tidak menguntungkan bagi siapapun yang menang lelang.
Disebutkan bahwa gedung ini tidak memiliki fasilitas parkir. Selain itu bahwa menurut pedagang bunga di depan gedung, ketika malam tiba mereka kerap melihat sesuatu yang aneh di lantai dua.
Entah karena apa, pada akhirnya proses lelang tidak berlanjut dan gedung pun tidak terjual. Akhirnya aset dikelola oleh anak perusahaan atau mitra perusahaan, yang bergerak di bidang jasa asuransi yang berkantor di Surabaya.
Noda
Entitas inilah yang seharusnya melakukan perawatan. Selama ini kemana? Baru ketika ada acara “Resonance of Light”, gedung ini dibuka. Termasuk terjadi adanya “noda” pada daun jendela yang berslimar (berbingkai) galvalum.
Apakah “noda” itu dibiarkan dan akan bertambah nodanya atau akan dibersihkan agar tidak merusak pemandangan Kota Lama Surabaya? Kiranya perlu ada pengingat kepada, yang bersangkutan. (PAR/nng)
