Perjuangan Belum Usai.

Sejarah Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Identitas Surabaya adalah kota Pahlawan, yang menyimpan nilai nilai kejuangan. Alasannya adalah karena peran sentral dan heroik rakyatnya dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia, terutama yang berpuncak pada Pertempuran 10 November 1945.

Peristiwa ini menjadi simbol keberanian, semangat juang, dan pengorbanan tanpa pamrih. Nilai nilai juang ini adalah warisan heroik yang sudah turun temurun dari zaman ke zaman.

Ada sederetan peristiwa heroik sebelum puncak pada heroisme 10 November 1945, yang akhirnya menjadi dasar dan latar belakang penetapan Hari Pahlawan Nasional. Peristiwa itu terbentang jauh ke belakang sejak akhir abad 13.

Peristiwa itu adalah wujud keberanian rakyat Surabaya bersama Raden Wijaya dalam menghadapi pasukan Tartar dari Mongolia pada 1293 M. Berlanjut lagi pada pertempuran melawan VOC yang dipimpin laksamana Speelman pada 1677. Rakyat Surabaya ketika itu bersama Raden Trunajaya.

Perang Trunojoyo menghadapi pasukan VOC. Foto: ist

Ada lagi peristiwa heroisme lainnya pada 1718-1722 ketika rakyat Surabaya bersama Raden Jaya Puspita melawan kekuatan Mataram. Lantas pada 1945, ketika rakyat Surabaya mempertahankan kedaulatan dengan berperang melawan Sekutu.

Perang besar (perjuangan) lainnya belum usai. Perjuangan besar masih menghadang. Yaitu berjuang dalam mengisi kedaulatan bangsa sebagai wujud meraih cita cita para pendahulu pada pasca kemerdekaan. Diantaranya adalah perang menghadapi kemiskinan, kemalasan, kebodohan dan masih adanya keterbelakangan.

Saat ini perang itu ada di sekitar kita. Para cendekiawan beradu mimbar. Di luar konflik bersenjata, semakin muncul perdebatan intelektual, ideologis, dan politik yang intens di ruang publik, media, dan forum akademik. Yang lagi viral sekarang adalah adu argumentasi tentang ijazah Jokowi asli atau palsu dan bencana Sumatera yang dianggap bersifat lokal atau nasional. Keduanya memantik ketegangan. Buntutnya juga dirasakan di Surabaya.

Isu isu itu juga menarik perhatian warga Surabaya. Mereka ikut bersitegang. Akhirnya muncul perang urat syaraf. Perang urat saraf ini adalah konflik non-fisik, yang menargetkan pikiran, emosi, dan mental lawan untuk melemahkan tekad, mengubah sikap, atau menciptakan disorientasi melalui metode psikologis dan siber. Perang demikian tidak pandang ruang dan waktu. Isunya di tempat lain tapi bisa merambah masuk Surabaya.

Semoga warga Surabaya, yang telah berbekal semangat juang itu, dapat menghadapi perang urat syaraf ini dengan bijak demi menambah pengalaman untuk menatap perang, yang belum berkesudahan ini. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *