Rendezvous Menapak Gladak Mliwis.

Budaya

Rajapatni.com: SURABAYA – Minggu cerah (23/11/25), redup tapi tidak hujan. Nyaman buat jalan jalan menapak Kota Lama Surabaya, meski di jam siang. Rendezvous siang ternyata bisa larut hingga petang oleh karena diskusi tentang potensi wisata Kota Lama Surabaya.

Berawal dari ngobrol di eks stand halte, yang berubah fungsi menjadi stand Kuliner di Jalan Jembatan Merah, sekelompok pegiat sejarah budaya itu nongkrong di stand Baladewa, persis di seberang gedung Singa, yang membuka diri dalam acara Resonance of Light.

Ngobrol santai siang itu ditemani Ketua RT di jalan Mliwis, Ricky Sutiono dan Juru Jaga Gedung Singa, Widodo. Aneka masakan pun disajikan, menambah semangat rendezvous siang itu. Ada menu krengsengan, gule dan bakso. Minumnya es teh dan limun rasa Sarsaparila dan tidak ketinggalan kopinya.

Jalan Jembatan Merah masih berpagar gedung gedung indah. Salah satu gedungnya terkenal dengan nama Gedung Singa. Perhatian pegiat pun ada yang tertuju pada lukisan porselen pada fasade bangunan, yang menggambarkan dua ibu etnis Eropa dan Jawa.

 

Keindahan Yang Tercoreng

Sayang gedung indah itu tercoreng dengan perbaikan list jendela kaca, yang ada di atas lukisan porselen. Kontras.

Perhatikan slimaran warna putih dalam kotak merah. Foto: nng

List (slimaran jendela itu) terbuat dari galvalum atau aluminium, yang tampak menyala berwarna putih. List ini kecil tapi sangat mengganggu penampilan Gedung Singa besar nan vintage. Kecil mengganggu seperti duri dalam daging.

Untungnya, tidak ada yang memperhatikan “bercak” putih itu karena mereka memang asyik diskusi ngalor ngidul tentang potensi Kota Lama.

 

Gladak Mliwis

Mumpung ditemani Pak RT Ricky, akhirnya muncul ide untuk melihat Gladak Mliwis. Yaitu anak tangga yang terbuat dari kayu, bentuknya melengkung naik ke atas ke lantai dua bangunan, yang secara arsitektur bergaya bangunan abad 19. Bangunannya bergaya Indies berlantai dua (loteng). Bangunan ini adalah kediaman Ketua RT.

Di jalan Mliwis, yang dulu bernama Dwar Boomstraat, hanya ada dua bangunan bergaya Indis dengan penopang teras berupa kolom kolom silinder. Satu bangunan adalah gedung Siropen dan satu lainnya adalah gedung yang dipakai sebagai rumah tangga.

Jalan Mliwis ikonik dengan bangunan berpilar. Foto: nng

“Ya, ayo lihat. Selama ini saya cuma melihat dari depan”, ujar Noor Suyatin, penikmat bangunan kolonial.

Bangunan ini memang berbeda dari bangunan bergaya kolonial modern abad 20 seperti banyak ditemukan di jalan Jembatan Merah dan jalan Rajawali.

Dari lapak kuliner di depan Gedung Singa, mereka lantas bersama sama berjalan menuju jalan Mliwis ke rumah bergaya Indis grandeur. Yakni tempat tinggal Ketua RT.

“Loh rumahnya ada aksara Jawanya”, ujar pegiat yang beken dipanggil Tepe Piknik.

Rumah ini memang pernah digunakan sebagai kelas Sinau Aksara Jawa untuk warga sekitar. Atas partisipasinya, pemilik rumah menuliskan alamat rumahnya dengan aksara Jawa. Tidak cuma rumah ini saja, beberapa lapak warung di lingkungan ini juga memasang banner beraksara Jawa.

Suasana di dalam rumah yang bergaya abad 19. Foto: nng

Memasuki rumah ini, setiap pasang mata jelalatan tertuju pada interior bangunan. Misalnya pada langit langit yang berkonstruksi blandar dan papan jati. Foto foto keluarga yang terlihat vintage dan altar sembahyangan keluarga juga tak lepas dari perhatian mata.

Tidak ketinggalan tangga naik ke lantai atas, yang terbuat dari kayu jati, menjadi objek fotografi. Namanya tangga, maka harus ditapaki untuk memperoleh sensasi naik ke lantai dua dari bangunan abad 19 ini. Suasana rumah begitu klasik dengan angin angin setiap kusen kamar terbuat dari kayu bermodel anak panah.

Dari rumah abad 19, rendezvous berlanjut ke rumah di jalan Gelatik, yang dulu bernama Stadhuis Steeg atau gang Balai Kota, yang diduga dulu menjadi perumahan para pejabat Balai Kota Soerabaia ketika Kota Lama (Benedenstad) masih berkalang tembok. Balai Kotanya (Stadhuis) di dekat jembatan.

Rumah rumah di jalan Gelatik ini bergaya rumah abad 18 sebagaimana pernah digambarkan oleh penulis Belanda Emile Leushuis dalam bukunya “Panduan Jelajah Kota-Kota Pusaka di Indonesia” (penerbit Ombak).

Sekelompok pecinta bangunan kolonial ini berkesempatan melihat berbagai ruangan di dalam rumah berlantai dua ini. Rumahnya besar dan sesuai sebagai kediaman pejabat Balai Kota Soerabaia tempo dulu. Semua unit rumah di sepanjang jalan Gelatik ini berukuran relatif besar dan luas.

Lantai dua (loteng) dari rumah ini juga berlantai (bergladak) kayu. Konstruksi kayu ini tampak dari langit langit di ruang bawah, yang masih berfungsi sebagai ruang tamu dan kamar tidur. Ada pula kamar yang dipakai seperti gudang.

Rumah rumah bergaya arsitektur abad 18 dan 19 ini ternyata masih ada di Kota Lama Surabaya, yang kiranya menjadi kekayaan arsitektur tersendiri dari Kota Lama Surabaya.

 

Sadar Wisata

Ngobrol on spots (rumah rumah tua) belumlah cukup. Di lapak Baladewa sambil nyruput minuman ringan bertemu dengan penggiat pariwisata. Maka dimulailah diskusi tentang memajukan pariwisata Surabaya.

Ada satu kunci. Hospitality. Yaitu sikap ramah dan pelayanan, yang berfokus pada penyambutan dan pelayanan tamu. Apalagi di kawasan, yang sudah ditetapkan sebagai kawasan wisata Kota Lama Surabaya.

Arief Lentung (dua dari kiri) dalam obrolan pemajuan pariwisata Surabaya. Foto: nng

Sebuah artikel di media ini, yang berjudul “Paramaribo (Suriname) Sudah Diakui Sebagai Situs Kota Warisan Pusaka Dunia UNESCO, Surabaya Kapan?” terbit pada Minggu (23/11/25) senada dengan pendapat sang penggiat pariwisata, Arief Lentung.

“Kalau bisa di setiap gedung cagar budaya di kawasan wisata harus siap menerima kunjungan tamu, yang mendadak sekalipun. Karenanya harus ada petugas yang dibekali wawasan tentang gedung cagar budaya yang dikelolanya. Sehingga ia bisa membantu memberikan informasi kepada tamu atau wisatawan. Bukannya menolak”, jelasnya.

Karenanya, selain berprofesi sebagai pemandu wisata (guide), Arief bersama timnya melakukan pendampingan dalam konsep Community Based Tourism.

“Warga setempat harus berdaya untuk mengimbangi sumber daya yang ada di daerahnya. Apalah artinya jika daerahnya itu berpotensi, tapi warganya tidak siap menerima kunjungan”, jelas Arief.

Surabaya memang memiliki cukup tempat tempat wisata yang berbasis kampung. Maka warganya harus berdaya dalam mengolah potensinya, termasuk kesiapan SDM warganya di dunia pariwisata.

Surabaya tidak memiliki tempat tempat wisata yang bersifat alam. Tetapi sosial dan budaya termasuk sejarah. Sosial, budaya dan sejarah ini harus dinarasikan kepada wisatawan. Menarasikan (Storytelling) ini tidak hanya berupa kemampuan pengetahuan, tetapi juga kemampuan berinteraksi sosial dengan para tamu dan wisatawan. Bicara Kampung, tentu tidak hanya para pelaku wisata atau Pokd tapi juga masyarakat (warga) secara umum. (PAR/nng).

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *