Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Demi upaya menjaga identitas bangsa, utamanya melalui aksara tradisional, Komunitas Puri Aksara Rajapatni terus melakukan jejaring komunitas lintas negara. Kali ini bersama mitra BIMA Nexus TechPark Pty Ltd., Australia mencoba memadukan budaya seni Aborigine Australia dan Aksara Jawa dalam bingkai seni batik, yang keberadaannya sudah mengglobal. Batik Indonesia sudah dicatat dan diakui oleh UNESCO pada 2009.
Beberapa seni batik sesungguhnya tidak hanya milik Indonesia saja. Malaysia dan Singapura juga memiliki seni Batik. Begitu pula Australia. Negeri Kangguru ini sangat kuat dengan Batik Aborigine nya.
Seni batik Aborigin Australia bahkan merupakan perpaduan tradisi batik Indonesia dengan teknik dan motif khas suku Aborigin. Berbeda dengan penggunaan canting, seniman Aborigin cenderung menggunakan kuas untuk membatik, sambil meletakkan kain di tanah atau dipijak untuk menjadikannya kaku dan kencang agar mudah dibatik.
Dari beberapa sumber dapat disimpulkan bahwa motif Batik Aborigin Australia sering kali terinspirasi dari alam dan “Masa Mimpi” (Dreamtime), dimana simbol-simbol seperti lingkaran dan titik digunakan untuk menggambarkan cerita penciptaan, lanskap, atau sumber daya alam.
Dari kemiripan yang berbeda antara Batik Aborigine dan Batik Jawa, akan menjadi tantangan dan peluang dalam menciptakan motif batik yang merupakan perpaduan antara Aborigin Australia dan motif Batik Aksara Jawa.

Upaya inilah, yang sedang dijajaki oleh Puri Aksara Rajapatni, yang berkolaborasi dengan BIMA Nexus TechPark Pty Ltd Australia dalam sebuah project “Bridging Script, Bridging Souls: Regenerative Dialogue Between Indonesia and Australia”.
Project ini adalah sebuah pengingat bahwa dua negara bertetangga ini pernah dalam satu ikatan sejarah dan budaya ribuan tahun lalu sebelum bangsa Eropa datang ke Australia. Bangsa Nusantara pernah singgah di belahan Utara benua Australia (Northern Territory) dalam urusan perburuan teripang.
Kini di era yang sudah berubah, ada semangat menjaga sejarah dan budaya bersama yang dibingkai dalam kebersamaan seni batik.
BIMA Nexus TechPark Pty Ltd Australia adalah mitra Puri Aksara Rajapatni. Menurut CEO BIMA Nexus, Prof. Rudolf Wirawan, BIMA Nexus adalah organisasi yang idenya sangat sederhana, yaitu berpikir sirkular (etnosains), bukan linear (sains).
Berpikir sirkular (etnosains) dan berpikir linear (sains modern) adalah dua cara pandang yang berbeda dalam memahami dunia. Perbedaan utamanya terletak pada pendekatan terhadap pengetahuan dan sumbernya.
Berpikir Sirkular (Etnosains) lebih menekankan pada siklus, keterkaitan, dan keberlanjutan. Etnosains adalah pengetahuan ilmiah yang dimiliki oleh masyarakat/suku/bangsa tertentu, diperoleh melalui tradisi dan pengalaman empiris yang diwariskan turun-temurun.
Sementara berpikir Linear (Sains Modern) cenderung melihat proses secara satu arah, dari bahan mentah menjadi produk, lalu dibuang (seperti model ekonomi linear “ambil-guna-buang”). Dalam konteks ilmiah, ini merujuk pada pendekatan yang terstruktur, metodis, objektif, dan universal, di mana pengetahuan baru dibangun secara sekuensial berdasarkan pengetahuan yang sudah ada dan teruji melalui metode ilmiah yang ketat. Fokusnya sering kali pada sebab-akibat langsung dan prediksi.
Batik Indonesia dan Batik Aborigine adalah dua budaya yang telah diwariskan secara turun menurun, dan akan bisa berkembang dalam upaya pemajuan sehingga menghasilkan produk baru dari hasil sebuah proses.
BIMA Nexus dengan kapabilitasnya dan Puri Aksara Rajapatni dengan kemampuannya saling mengisi dan belajar demi sustainabilitas identitas di dunia yang sudah mengglobal.
Meski masing masing berada di dua daratan yang berbeda dan jauh dipisahkan oleh samudra yang luas dan dalam, di bawah (beneath the ocean) masih terhubung tanah harapan (land of hope).

Inilah arti sebuah kolaborasi antar kedua bangsa yang keberadaannya harus dirawat: diramut, dirumat dan diruwat. Kedua bangsa ini sama sama mengagungkan alam (nature) dan budaya (culture). Tentu sustainability nya tidak lepas dari peran orangnya (people). Ada triangle yang saling mengikat Nature, Culture dan People.
Menurut Profesor Rudolf Wirawan dari The University of Adelaide, terjalinnya hubungan antara Surabaya (Indonesia) dan Adelaide (Australia) adalah hal utama untuk menjaga ingatan sejarah bersama. Sedangkan keberhasilan mendapatkan project dari Australia Indonesia Institute (AII) adalah bonus. Kedua entitas ini memang sedang mengajukan project budaya ke Australia Indonesia Institute (AII).
“Mohon sampaikan Salam Hormat saya kepada Referee dan Suporter dalam project ini. Semoga bersama kita dapat menjadi mercusuar yang tidak hanya bagi Ibu Pertiwi tetapi bagi Australia dan mancanegara. Submission adalah awal dari kolaborasi dan komitmen kita bersama yang baik. Bila kita dapat Grant, itu hanya bonus. Dapat atau tidak dapat, kita maju terus bersama mengemban pemajuan budaya ini”, pungkas Prof Rudolf Wirawan. (PAR/nng)
