Aksara
Rajapatni.com: SURABAYA – Mengenalkan Surabaya dan aksara tradisional kepada khalayak, termasuk mitra mancanegara sungguh tiada henti. Setelah pengenalan melalui buku “Bung Bebek en de Princess”, yang diluncurkan pada Jumat malam (7/11/25), selanjutnya Ita Surojoyo, Pendiri Puri Aksara Rajapatni, yang mentransliterasi buku berbahasa Belanda ke dalam aksara Jawa itu, mengajak mitra Belanda, Denise dan Patty ke tempat tempat tempat wisata heritage Surabaya.
Eks gedung Simpangsche Societeit, yang kini dikenal sebagai Balai Pemuda, tidak luput dari kunjungannya sebagai objek heritage menarik.

Gedung Balai Pemuda (d/h Simpangsche Societeit) adalah simbol komunitas Eropa di Surabaya. Bangunan ini dulunya berfungsi sebagai tempat rekreasi dan hiburan eksklusif bagi orang-orang Belanda di Surabaya.
Pada masanya kawasan ini adalah lingkungan yang indah dengan taman taman di sekelilingnya. Ada Taman Cruisen, ada taman Simpang, dan ada Kalimas yang indah. Dari keindahan itu, istana Simpang pun awalnya menghadap ke sungai sebagai pemandangan alami.
Lingkungan Balai Pemuda memang indah. Pun hingga sekarang. Apalagi sekarang menjadi pusat titik temu masyarakat dalam berkegiatan sosial, ekonomi dan budaya. Salah satunya adalah wadah Rumah Bahasa yang juga menjadi arena mengenal peradaban literasi tradisional dimana komunitas Puri Aksara Rajapatni telah menggunakannya dalam rangka mempromosikan aksara Jawa.

Ita membawa sahabatnya Denise dan Patty, ke lingkungan cagar budaya Balai Pemuda. Tempat ini memang layak diperkenalkan karena nilai sejarah yang terkandung. Juga karena di komplek ini lah aksara Jawa diajarkan.
Masih dari sekitaran sungai Kalimas sebagai tempat indah alami yaitu keberadaan museum pendidikan Surabaya. Dulu gedung ini adalah sebuah hotel di era kolonial. Namanya Villa Rivierview . Kini difungsikan sebagai Museum Pendidikan Surabaya, yang di dalamnya diantaranya mempresentasikan peradaban literasi Tradisional mulai dari era pra aksara hingga era aksara, yaitu mulai dari aksara tradisional hingga aksara latin (eropa).
Selain ada aksara Jawa juga ada aksara Pegon. Manuskrip yang dipamerkan dalam bentuk kitab berbahan kertas dan lontar. Denise dan Patty diajak melihat dan memperhatikan artefak bersejarah ini.
Perjalanan mengenal Surabaya ini bagai kisah dalam buku cerita anak lainnya, yang sedang dipersiapkan oleh Ita Surojoyo dalam mengenalkan Surabaya kepada kawannya. Sebelumnya Ita Surojoyo menulis buku “Titi Tikus Ambeg Welas Asih”. Sementara Buku yang sedang ditulisnya adalah tentang bagaimana Ita mengenalkan Surabaya dan kecerdasan literasi Tradisional.
Buku yang sedang dipersiapkan itu beraksara Jawa dan dalam bahasa Inggris.
“Ini adalah upaya dalam mensejajarkan aksara Jawa dengan aksara Latin, seperti halnya aksara Jepang, Hindi, China dengan aksara Latin”, jelas Ita.

Persahabatan adalah mula untuk saling mengenal masing masing. Ini adalah penting sebagai cara membawa dan memperkenalkan suatu identitas kepada pihak lain. Tak kenal maka tak sayang. Melalui pengenalan itu akan ada transformasi pengetahuan termasuk identitas bangsa.
Bagi Denise ini adalah kunjungan yang luar biasa. Menurutnya museum pendidikan sangat menarik untuk dilihat.
“Begitu banyak hal yang mengingatkan saya pada masa kecil saya, atau bahkan masa lalu. Dari perlengkapan sekolah tua hingga meja dan papan tulis kayu, hingga majalah Bobo, majalah yang biasa saya baca di taman kanak-kanak”, kenang Denise
Denise juga terkesan dengan kertas yang usianya sudah lebih dari 100 tahun dan tertulis dengan aksara jawa.
“Kami menikmati semua ini . Terlebih adalah dapat melihat ruang kelas dimana diadakan kelas Sinau Aksara Jawa”, tambah Denise yang sengaja dibawa Ita Surojoyo ke tempat dimana dilaksanakan kegiatan Sinau Aksara Jawa.
Bagi Denise aksara Jawa masih baru. Ia baru mengenal aksara Jawa ketika melihat buku Bung Bebek en de Princess, yang ditransliterasi dalam aksara Jawa.

Dari pengalaman mengenal Aksara Jawa sebagai aksara tradisional bangsa Indonesia, Denise merasa semakin mengenal Surabaya. Meski sebenarnya ia baru mengenal kota ini pada bulan Mei 2025 dalam kunjungan pertamanya. Pada momen peluncuran buku Bung Bebek en de Princess pada 7 November 2025, Denise semakin kenal Surabaya.
“Saya kira saya semakin kenal Surabaya sekarang” pungkas Denise. (PAR/nng)
