Bagai Lukisan Pensil Yang Realis

Fiksi

Rajapatni.com: SURABAYA – Selepas adzan Maghrib berkumandang, roda besar lokomotif uap berwarna hitam menggelinding menyeret rangkaian gerbong berdinding kayu indah nan hangat. Asap hitam dan putih mengepul tebal keluar dari ventilasi tabung ketel, yang menjadi tenaga Lokomotif. Ia melaju kencang di atas sejajar batang besi, yang menjadi kalung tanah Jawa.

Dua batang kalung itu melintas sejajar di atas sungai Brantas, yang pernah menjadi alur para pemberani menentang penguasa Kadiri.

Locomotief uap membawaku ke sana. Foto: ist

Dengan mutiara hitam itu, ku jemput Dia di stasiun klasik bangunan Belanda pada 1881. Menjelang masuk stasiun, suling lokomotif memberi isyarat akan kedatangannya di stasiun itu. Waktu menunjukkan segera pergantian hari. Langit terlihat terang karena Padhang bulan, purnama tengah datang dengan Halo bulannya. Sebagian orang menyebut bulan sedang Pakai Payung.

Segera berhentilah roda roda besi itu di spoor 1, yang langsung berhadapan dengan pintu pintu besar tinggi yang menjadi ruang penjualan karcis.

Turun dari gerbong kereta, saya tidak keluar melalui akses pintu keluar tapi langsung menuju ruang pembelian karcis. Ku tau Dia akan disana dan ku tau aku akan beli karcis untuk langsung kembali ke Surabaya. Kereta malam akan membawa ku balik ke Surabaya.

Ku bergegas menuju ruang utama stasiun untuk membeli karcis. Sesampai di depan loket karcis, uang receh ku tak cukup untuk membeli karcis. Lalu kukeluarkan ATM.

“Lho aku kok aku bisa pakai ATM ya?”, pikirku sendiri.

Suasana stasiun tidaklah seterang di era ATM yang logis seperti sekarang. Masih ada lampu minyak, yang tergantung pada langit langit tinggi ruang utama stasiun. Pagi tengah malam di stasiun itu masih sepi pengunjung, kecuali mbok mbok penjual pecel lontong yang disunggi.

Perut terasa keroncongan tanda perut lapar. Kubeli sepincuk pecel lontong. Pincuknya benar benar berbahan daun pisang. Harganya setali. Setali setara dengan 3/4 rupiah atau 75 sen.

Sambil duduk dibangku panjang berbahan besi, kumakan pecel dengan sayur segar kacang panjang, kembang turi, kecipir dan kecambah rebus dengan potongan bendoyo (krai rebus). Tak lupa rempeyek kacangnya yang renyah. Tidak ada sendok. Kugunakan jemari. Untuk cuci tangan kugunakan sumur artesis yang tersedia di depan bangunan stasiun.

Sumur artesis. Foto: ist

Sumur artesis adalah sumur yang mengambil air dari lapisan akuifer tertekan di bawah permukaan tanah, yang airnya dapat naik ke permukaan secara alami karena tekanan bawah tanah, tanpa memerlukan pompa.

Dengan cuci tangan di sumur artesis sebelum dan sesudah makan, tangan tetap terjaga bersih.

Sebelum kereta, yang kutunggu untuk balik ke Surabaya, datang, datanglah dia yang ku jemput dan kutunggu. Penampakannya bagai lukisan pensil yang realis. Ia terang dan jernih di tengah remang di depan mata.

Bagai lukisan pensil yang realis. Foto: ist

Karena kereta belum datang, ku sempatkan mampir di warung kecil di depan stasiun. Tidak ada lampu listrik sebagai penerang. Kecuali sepasang ublik. Lampu api berbahan minyak tanah. Kupesan dua cangkir kopi panas. Satu untukku. Satu untuknya. Rasanya tidak terlalu manis. Hangatnya pas untuk malam yang berpendar cahaya bulan purnama dengan kelap kelip jutaan bintang.

Di tengah remang dan cahaya rembulan, wajahnya jelas bagai lukisan pensil hitam yang realis. Dia cantik alami, sebuah keindahan yang tampak apa adanya, tanpa berlebihan, riasan tidak mencolok, atau prosedur kosmetik invasif. Itulah Dia.

Dari kejauhan terdengar suling lokomotif pertanda kereta datang dan kami pun bergegas masuk peron. Begitu kami masuk ruang peron, penumpang lain sudah berdiri di peron dimana kereta akan berhenti. Mereka berbusana warna putih. Yang perempuan bergaun renda dan yang pria bertopi laken. Ada yang berbusana kain dan kebaya.

Penumpang sudah menunggu di peron. Foto: ist

Begitu kami melangkah naik kereta, mata terjaga. Namun lukisan pensil realis itu tetap di depan mata. Tengah malam itu kami melangkah keluar rumah mencari kopi panas. (PAR/nng)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *