Sejarah Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – Pernah ada gelar Adipati di surabaya. Gelar ini dikenal melekat pada sosok seorang pemimpin yang bernama Jayengrono. Maka umum dikenal Adipati Jayengrono. Masih ada nama Adipati lainnya di Surabaya seperti misalnya Adipati Adipati Jayapuspita. Cuma namanya kurang dikenal.
Nama Adipati Jayengrono pernah dikenal dan didokumentasikan lewat nama sebuah taman di kawasan Jembatan Merah. Namanya Taman Jayengrono. Tujuannya mensejajarkan dengan nama raja Belanda, Willem, yang namanya pernah dipakai untuk sebuah taman atau alun alun kota di era kolonial, yaitu Willemsplein.
Kini nama Taman Jayengrono dihapus oleh pemerintah kota Surabaya dan diganti dengan nama “Taman Sejarah”. Maka hilang sudah nama Adipati Jayengrono dari ingatan. Ironisnya nama raja Willem dimunculkan lagi sebagai dekorasi Taman Sejarah dalam konsep tata ruang Kota Lama Surabaya. Di pojok taman ini diberi signage yang bertulis “Willemsplein”.
Lha nama Adipati Jayengrono mana? Nama yang berkearifan lokal mana? Sebuah nama kebesaran Surabaya yang pernah diabdikan untuk menandai Surabaya yang pernah dipimpin oleh seorang Adipati. Walikota Surabaya Doel Arnowo pada tahun 1950 pernah membuat kebijakan merubah semua nama nama yang berbau asing menjadi nama nama lokal yang hasilnya bisa kita ketahui nama nama jalan di Surabaya.
Tapi ironis, justru nama yang berkearifan lokal, Taman Jayengrono, dihapuskan. Maka hilang sudah jejak sejarah klasik Surabaya. Tapi jejaknya masih ada tapi terselubung. Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II Yogyakarta, sebagai Ketua Dewan Pendiri Masyarakat Adat Nusantara (MATRA), ketika berkunjung ke Surabaya pada 10/10/25) menyatakan ingin melacak sejarah klasik Surabaya dan mengidentifikasi trah Adipati Surabaya.
Meski di Surabaya tidak ada raja, tapi sifat kerja Adipati kala itu, yang memimpin sebuah kadipaten, adalah serupa dengan raja.
Wilayah Kadipaten memang berada di bawah administrasi hierarki kerajaan, seperti Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Tapi mengapa jejak sejarah Kadipaten Surabaya tidak lagi diabadikan, padahal fakta fakta nya dikenal sebagai ingatan kolektif bangsa?
Masa sistem pemerintahan modern kota Surabaya menghanguskan jejak sistem pemerintahan klasik Surabaya?
Keberadaan Kadipaten Surabaya diakui MATRA.
MATRA (Masyarakat Adat Tradisional Nusantara), yang merupakan kumpulan kelembagaan kerajaan kerajaan Nusantara, kumpulan raja raja Nusantara (para sultan) hingga pemerhati dan penggiat Budaya Nusantara, mengakui bahwa Surabaya pernah memiliki sistem pemerintahan hirarki.

Keberadaan Kadipaten Surabaya ini disampaikan oleh Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangku Alam II Yogyakarta, sebagai Ketua Dewan Pendiri Masyarakat Adat Nusantara (MATRA), ketika berkunjung ke Surabaya pada 10/10/25).
Menurutnya bahwa pada 1625, Surabaya secara administratif mulai di bawah kekuasaan Mataram. Sejak itulah tata kelola pemerintahan klasiknya menjadi serupa dengan atasannya, Mataram. Cuma, Surabaya hanya dipimpin oleh seorang Adipati dimana sistem pemerintahan kadipaten menjadi wilayah bawahan yang dipimpin raja atau kesultanan.

Di salah satu Gapura komplek Sunan Ampel ada inskripsi dalam aksara Jawa, yang berbunyi “Kertining Pandhita Winayang ing Ratu”, yang berarti bahwa tindakan seorang pemimpin (spiritual atau pandita) selalu berada di bawah pengaruh atau pengawasan penguasa atau raja.
Seorang filolog University Airlangga, Abimardha Kurniawan, mengurai kronogram bhūtasaṃkhyā, yang kalau diuraikan menjadi kĕrti (4) paṇḍita (7) winayang (6) dan ratu (1). Jadi angka tersebut berbunyi 4761, sehingga kalau dibaca dari belakang menjadi 1674 Masehi. Angka tahun itu relevan dengan antara 2 Desember 1748 —10 Desember 1749), atau sezaman dengan masa akhir pemerintahan Pakubuwana II di Surakarta (1745—1749).
Kadipaten Surabaya memang sebuah monarki Jawa, yang berpusat di Surabaya dari sekitar 1549 hingga 1625, yang pada masa kejayaannya menjadi pusat perdagangan dan kekuatan maritim penting di Jawa Timur.
Setelah memperluas pengaruhnya ke berbagai wilayah, Kadipaten Surabaya kemudian ditaklukkan oleh Kesultanan Mataram di bawah Sultan Agung pada tahun 1625.
Berikut data yang dapat dihimpun dari beberapa sumber dan tersusun para petinggi klasik Surabaya.
• 1601-1625 Jayalengkara
• 1625-1670 Pangeran Pekik
• Jangrana (Jayengrana) I Onggowongso
• Jangrana (Jayengrana) II Surodirono
• Jangrana (Jayengrana) III Setjonegoro (kasepuhan), Aryo jayapuspita (kanoman) •Jangrana (Jayengrana ) IV (Sawunggaling) ,
•Jangrana (Jayengrana) V Tumenggung Onggowidjojo.
Adakah ahli warisnya?


Menurut peta tertua Surabaya pada 1677 tergambar bahwa di bagian wilayah Sulung, Kelurahan Alon-Alon Contong, Kecamatan Bubutan sekarang, pernah terdapat struktur bekas bangunan tua dari pangeran pangeran sebelum Mataram. Lokasinya dekat Kalimas atau di sebelah Timur kawasan Tugu Pahlawan. Kawasan ini menjadi sistem perbentengan Trunojoyo ketika menghadapi VOC.

Bisakah Surabaya menggali sejarah klasiknya yang luar biasa itu? (PAR/nng)