Sejarah Budaya
Rajapatni.com: SURABAYA – De Historisch Nieuwsblad, sebuah rombongan wisatawan Belanda, memiliki cara unik dalam teknik guiding (kepemanduan). Yaitu menggunakan pola story telling, yang dibawakan dengan gaya puitis dan ekspresif, dengan disertai body language dan mimik oleh tour leader, yang merangkap story teller.
Apalagi spot spot (tempat tempat) storytellingnya adalah setting sebagaimana terjadinya peristiwa, yang tersebut dalam kisah yang tersebut dalam sumber cerita “De Stille Kracht” karya Louis Couperus (1900).

Novel ini menceritakan kisah seorang Residen Pasuruan, yang berlatar Pasuruan di abad 19.
Hingga kini latar belakang (setting), yang berupa bangunan dan tempat itu sebagian masih berdiri kokoh. Lainnya ada yang sudah berubah menjadi bangunan baru.
Tempat tempat, yang menjadi latar belakang dalam cerita novel de Stille Kracht, karya Louis Couperus itu menjadi rute wisata sejarah rombongan De Historisch Nieuwsblad.
Di sepanjang rute itu, dengan stop stop pada titik bangunan kuno berstatus cagar budaya, rombongan yang berjalan kaki itu berhenti. Mereka mendengarkan sang tour leader yang merangkap story teller bercerita.
Yang diceritakan adalah fragmentasi kisah yang ditulis dalam novel De Stille Kracht. Sang storyteller tidak hanya membacakan fragmentasi kisah, tetapi juga memperagakan mimik dan body language yang mengiringi cara bernarasi yang ekspresif: memainkan intonasi, penekanan dan gaya.
Akibatnya, respon para peserta (rombongan) adalah kepala langsung tertunduk sebagai tanda mendengarkan jalannya cerita dengan penuh perhatian sambil membayangkan jalannya peristiwa yang terjadi di akhir abad 19 di tempat itu. Apalagi sang storyteller menggerakkan tangannya dengan menunjuk arah dan Object di sekitarnya sebagai petunjuk pernah terjadinya peristiwa dalam imajinasi penulis Louis Couperus.
Gaya storyteller bagai performing art di atas “moving” stage. Berdasarkan novel De Stille Kracht, rombongan dibuat seolah berada diatas panggung dengan setting yang berlatar bangunan dan alam sekitar. Ada jalan, pohon, dan pergerakan dinamika manusia. Ini semua membuat rombongan larut dalam jalannya cerita. Mereka seolah hidup di abad 19.
Ini pengalaman batin, yang luar biasa. Mereka seolah berdiri di dua sisi zaman. Di satu sisi berada di abad 21 (kehidupan nyata sekarang) dan abad 19 (kehidupan imajinatif dulu). Kisah yang ditulis oleh Louis Couperus memang fiktif tetapi setting lokasi kejadian adalah realistis. Namun jelajah sejarah ini mampu melibatkan panca indera (five senses) peserta yang tidak hanya melihat (mata), mendengar (telinga), meraba (tangan), mencium (hidung) dan pengecap (lidah).
Cerita Fiksi Realistis

Akhirnya cerita fiktif dengan latar belakang yang realistis ini dan umumnya disebut fiksi realistis atau reality fiction menjadi seolah nyata. Genre ini menampilkan cerita, yang mungkin saja ada (terjadi) di dunia nyata, tanpa unsur fantasi, supranatural, atau fiksi ilmiah, serta menggunakan karakter dan konflik yang mencerminkan kehidupan sehari-hari manusia.
Perjalanan jejak sejarah di Pasuruan, yang dipersembahkan De Historische Nieuwsblad ini, membuka mata hati para peserta dan menjadi lorong waktu (time tunnel) yang menghubungkan masa sekarang dan masa lalu.
Dengan memahami isi cerita, yang tertulis dalam novel De Stille Kracht, para peserta semakin bisa menghargai masih lestarinya gedung gedung dari abad 19 itu seperti diantaranya gereja Katolik (1895) dan gedung Harmonie (1858).


Pada tahun 1850 sampai 1860, Pasuruan adalah salah satu kota komersial pertama di Jawa, sebagai pusat kopi dan gula, atas budidaya semua produk yang tumbuh di Tengger dan Malang diangkut di sepanjang Pasuruan.
Di sana ada fasilitas hiburan yang hebat, banyak pengusaha dan pedagang yang berkantor di sana. Apalagi Pasuruan sebagai sebuah ibukota Karesidenan. Dengan banyaknya orang Belanda dan Eropa, yang bermukim di Pasuruan, maka membutuhkan beberapa fasilitas atau sarana. Salah satunya adalah tempat untuk bersantai dan hiburan, maka dibangunlah “Gedung Societeit Harmonie” pada 1858.

Gedung Harmonie adalah salah satu spot dalam jelajah sejarah De Historische Nieuwsblad.
Menyimak cara De Historische Nieuwsblad menyajikan cerita De Stille Kracht, tergambar sebuah teknik guiding yang menarik. Yaitu menyajikan cerita dan realita.
Menyimak pola penyajian dan pemanfaatan ruang cagar budaya di Pasuruan, muncul harapan adanya kisah semacam ini di kota Surabaya. Cerita, yang dikemas oleh De Historisch Nieuwsblad ini, menjadi dorongan untuk upaya pelestarian bangunan cagar budaya di suatu daerah seperti Pasuruan dengan Pasuruan Heritage dan Surabaya dengan Kota Lama Surabaya.
Pesan Buat Pemangku Daerah
Ingat, Pasuruan sudah terbingkai sebagai peta kunjungan wisata sejarah oleh masyarakat internasional, khususnya Belanda. Untuk itu Pasuruan harus siap menyambut kedatangan wisatawan dengan baik. Masyarakatnya harus bisa meningkatkan kapasitas dan kualitasnya sebagai tuan rumah yang baik.
Hal yang sama juga berlaku untuk Surabaya yang sudah membuka daerahnya dengan Kota Lama Surabaya. Warganya, terutama pengelola gedung gedung cagar budaya, seharusnya bisa mendorong personilnya agar selaras dengan konsep Kota Lama Surabaya yang telah disiapkan pemerintah kota Surabaya dengan biaya yang tidak sedikit. (PAR/nng).