Sastra Sejarah
Rajapatni.com: SURABAYA – Bayangkan anda mengikuti cerita sebuah riwayat berdasarkan, misalnya sebuah Hadis maupun bible di lokasi dimana riwayat itu terjadi. Anda tentunya akan merasa Anda hidup di zaman itu.
Saya merasakan hidup di akhir abad 19 di kota Pasuruan ketika saya mengikuti jelajah sejarah rombongan De Historisch Nieuwsblad dari Belanda pada Minggu (5/10/25). Grup dari Belanda ini menapaki suatu kisah dalam novel sejarah karya Louis Couperus, yang termasuk sebagai salah satu karya agung sastra Belanda. Sastrawan Louis Couperus memotret kehidupan zaman kolonial Belanda pada akhir abad ke-19 di Pasuruan. Karya Couperus ini serupa dengan novel Bumi Manusia (The Earth of Mankind) karya penulis terkenal Indonesia Pramoedya Ananta Toer, yang menggambarkan tokoh Minke dengan setting Surabaya di akhir abad 19 dan awal abad 20.
De Stille Kracht

Novel Louis Couperus dengan judul “De Stille Kracht” (Kekuatan Dalam) mengangkat pemikiran dan pandangan tentang masyarakat Jawa dan filosofinya, seperti cara menyikapi alam dan kekuatan yang ada di dalamnya dan juga takhayul.
Novel karya Louis Couperus ini fiktif tetapi bersetting realistis. Yaitu di Pasuruan dengan gedung gedung tuanya dari abad 19. Untuk menceritakan kisah itu, grup De Historisch Nieuwsblad ini melacak tempat tempat yang menjadi setting peristiwa dalam novel. Grup ini diikuti oleh kalangan akademisi, hakim, sejarawan, wartawan serta penulis Belanda. Demikian kata pimpinan rombongan Monique Soesman.
Monique Soesman memiliki cara menarik dalam mengajak rombongan elit Belanda dalam berwisata sejarah di Pasuruan. Tempat tempat heritage, yang menjadi spot kunjungan, adalah alur cerita fiktif-realistis novel Louis Couperus. Mereka mengikuti alur cerita yang fiktif dengan setting plot yang realistis. Menarik.
Andai novel Bumi Manusia bisa diaktualisasikan seperti itu dengan setting Surabaya, maka ini cara menarik dalam apresiasi sastra dan gali sejarah Surabaya.
Berdiri Sebagai Fakta Sejarah.
Hingga sekarang spot spot dalam cerita novel itu relatif masih ada. Juga ada yang telah berganti menjadi gedung baru. Namun jejaknya masih bisa terlacak.
Misalnya dalam cuplikan kisah itu menceritakan ketika seorang Residen Pasuruan berjalan melewati rumah sekretaris, yang berseberangan dengan sekolah putri. kantor notaris, sebuah hotel, kantor pos, serta presiden (Ketua) dari dewan pengadilan negeri (Raad Van Justitie). Di ujung akhir boulevard (jalan Pahlawan sisi Utara), berdiri gereja Roma Katolik, dan lebih jauh melalui jembatan berdiri stasiun. Dekat stasiun ada sebuah toko Eropa, yang lebih terang daripada rumah-rumah lain.
Dalam cuplikan kisah lain menggambarkan kedatangan seorang putri dari stasiun kereta api Pasuruan, yang kemudian ia berjalan melawati pasar dan perkampungan yang penuh dengan toko toko.
Kisah itu dilacak oleh De Historisch Nieuwsblad dan di setiap pemberhentian (stop), Monique Soesman bernarasi (story telling), yang mengisahkan kejadian dalam novel. Dalam bernarasi, Monique memainkan gaya intonasi, tekanan, dan disertai mimik untuk menekankan cerita.

Jelajah sejarah pada Minggu (5/10/25) ini diawali dari stasiun Pasuruan, yang menggambarkan kedatangan seorang putri. Dari dalam stasiun, sesuai setting cerita, Monique ber story telling. Para peserta tour pun mendengarkan dengan seksama.
Bahasa Tubuh Dan Mimik
Saya, penulis, tidak mengerti bahasa Belanda yang digunakan Monique tetapi dapat menangkap pesan dari bahasa tubuh dan nada bercerita Monique.

Dari Stasiun lalu berjalan menuju pasar. Di pasar Monique bercerita lagi sambil tangannya menunjuk ke beberapa arah dan rumah, yang diduga menjadi setting kejadian dalam novel. Secara faktual Monique juga mengajak rombongan mengamati lingkungan sekitar seperti masyarakat setempat dan aktivitasnya serta bangunan bangunan yang masih menyisakan potret zaman.

Para peserta seolah dijembatani oleh kekunoan bangunan agar bisa berimajinasi dan masuk ke dalam cerita, yang kejadiannya di akhir abad 19 atau tahun 1880-an dan 1890-an.
Dari perkampungan kuno, berjalan kaki ke alun alun dengan rumah Bupati dimana sistem pemerintahan lokal terpusat. Rombongan diterima dengan baik di pendopo kabupaten dan bernarasi di kediaman Bupati yang berarsitektur kolonial dengan pendopo berarsitektur lokal di depannya. Di teras kediaman Bupati ini, Monique bernarasi lagi dengan kisah, yang sesuai dengan setting tempatnya. Di bawah plafon tinggi yang disangga pilar pilar silinder para peserta duduk seadanya. Ada yang duduk di kursi, ada yang di lantai marmer dan ada pula di pangkalan bawah pilar.

Sekali lagi, saya tidak mengerti bahasa Belanda tapi saya bisa menangkap pesan cerita yang disampaikan. Dari alun alun perjalanan jelajah sejarah ini berlanjut ke jalan Pahlawan (d/l Heerenstraat), yang kaya dengan bangunan abad 19 yang kuat dengan gaya Indische.

Di beberapa titik rombongan ini berhenti untuk mengikuti cuplikan kisah cerita sambil mengamati gedung gedung baik yang masih asli seperti Gedung Harmonie yang sekarang dipakai sebagai sekolahan.

Cårå Penyampaian Sejarah Yang Menarik
Lagi lagi cara penyampaian Monique yang dramatis membuat peserta larut dalam novel Louis Couperus, termasuk saya sendiri.

Novel karya Louis Couperus ini menjadi lebih menarik bagi bangsa Indonesia, ketika Pramoedya Ananta Toer, berpuluh tahun kemudian, memotret kehidupan zaman kolonial sekitar akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 dalam novel “Bumi Manusia”, dengan tokoh Minke (sosok bumi putra) yang mempertanyakan pemikiran dan pendidikan Belanda.


Sebelum jelajah sejarah berakhir di pelabuhan Pasuruan, mereka menyusur ke gereja Katolik di Pasuruan yang juga disebut dalam novel Louise Couperus.
(PAR/nng)